Antara Jargon Pilkada; Propaganda Goebbels; dan Murka Tuhan

Suaramedannews.com, DeliSerdang – Menjelang detik-detik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), merupakan hal dan pemandangan yang biasa bila terlihat begitu ramai baliho-baliho, spanduk-spanduk, poster-poster, flyer-flyer, pamflet dan berbagai jenis sarana promosi para bakal kepala daerah (bacakada), terpampang dari mulai di sekitar kota sampai ke pelosok desa , begitu pula di berbagai media massa dan media sosial.

Informasi promosi tentang tokoh-tokoh bakal kontestan pilkada yang terpajang bertuliskan bermacam-ragam frasa, kalimat atau jargon, yang berupa klaim-klaim tentang kebaikan-kebaikan, kebajikan-kebajikan, yang – “konon” menurut yang tertuang di sarana-sarana promosi tersebut, – ada pada dirinya, serta keberhasilan-keberhasilan perjuangannya dan lain-lain kehebatan lainnya .

Paul Joseph Goebbels bersama Keluarganya

Beraneka ragam tulisan yang ditampilkan, ada yang mengklaim sebagai tokoh ini, tokoh itu, pioneer ini, pioneer itu, pembela ini, pembela itu, pendobrak ini, pendobrak itu, pejuang ini, pejuang itu, dan kalimat propagandis lainnya dari yang biasa-biasa saja, sampai yang fantastis dan luar biasa.

Jargon-jargon politik ditampilkan dalam berbagai alat promosi diri adalah boleh-boleh saja, namanya juga sedang ikhtiar mempopulerkan diri untuk maju di arena Pilkada 2024 nanti.

Namun hendaknya kita sebagai warga masyarakat, haruslah dapat bersikap bijak dan cerdas untuk mencermatinya. Kalau merasa cocok dengan pesan-pesan bacakada tersebut, hendaknya tidak didominasi dengan perasaan fanatisme yang terlalu berlebihan. Sebaliknya, jikalau tidak merasa cocok, bijaknya tidak membenci dengan kebencian yang berlebihan pula.

Hendaknya kita pelajari dulu meski secara sederhana antara kecocokan jargon politik yang didengungkan dengan track record sang bacakada, tidak langsung begitu saja menolak atau menerima, tidak langsung dihujat atau dibela membabi buta pula seolah-olah jargon-jargon politik tersebut sebagai suatu kebenaran yang hakiki.

Alangkah baiknya jika selami dulu, karakter, peran serta, kepedulian dan rekam jejak para tokoh bakal calon kepala daerah tersebut. Siapakah dan bagaimanakah tokoh-tokoh tersebut bagi warga masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggalnya, di wadah aktivitas profesinya, ranahnya berkiprah di tengah-tengah masyarakat dan lain-lain ruang tempat sang bacakada tersebut mengaktualisasikan diri?

Biasanya orang-orang pada umumnya akan menanyakan, apa kontribusi riil yang sudah dipersembahkan (bagi incumbent dan keluarganya), visi misi dan penawaran program (bagi non incumbent) untuk percepatan kemajuan pembangunan daerah tempat sang bacakada dipilih nanti? Adakah magnum opus (adikarya) yang fenomenal, adakah persembahan berupa masterpiece yang sangat banyak mendatangkan maslahat bagi masyarakat?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan mudah terjawab dengan jelas, jika hasil dan bukti perjuangan yang sudah diperjuangkan sang bacakada selama ini (bagi incumbent dan keluarganya), dan nanti setelah terpilih (terpilih kembali) terwujud dan dapat dirasakan di berbagai sektor yang sangat bersinggungan dengan masyarakat, seperti dunia pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan publik, dan kesejahteraan sosial.

Dan akan menjadi semakin terang benderang, jika terbukti nyata selama ini, para kontestan pilkada (khususnya incumbent atau keluarga incumbent) tersebut sudah menelurkan terobosan-terobosan brilian yang sudah dipersembahkannya dengan hasil berupa angka-angka yang riil dan signifikan untuk menekan angka kemiskinan, angka stunting, angka putus sekolah, angka pengangguran dengan meningkatkan taraf perekonomian rakyat serta mencapai bahkan melampaui target pendapatan asli daerah?

Tentunya sangat diperlukan nalar yang logis untuk menguji jargon-jargon tersebut, apakah memang merupakan sudah (akan, bagi yang non incumbent atau non keluarga incumbent) menjadi sebuah kebenaran yang didukung oleh fakta/bukti dan data-data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

Atau kah hanya sekedar “kalimat propaganda dagang” untuk memuluskan dan membuat laris dagangan kecapnya, bahwa kecapnya si A adalah kecap nomor satu?

Perlu kita ingat istilah pesan-pesan sponsor yang sudah lama populer di tengah-tengah masyarakat, harap teliti dulu (barang dagangan) sebelum membeli, khususnya di saat hendak memilih dan mencoblos pilihannya di hari H penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 nanti.

Melongok sejarah dunia sekitar delapan puluh – sembilan puluh tahun silam, di masa pemerintahan rezim Kanselir Adolf Hitler dengan partai Nazi-nya, untuk semakin memperkuat hegemoni kekuasaannya, Hitler merasa sangat berkepentingan memberikan tugas khusus kepada salah orang kepercayaannya, Paul Joseph Goebbels, yaitu sebagai Menteri Pencerahan Publik dan Propaganda Nazi.

Paul Joseph Goebbels bersama tuan besarnya Pimpinan Tertinggi Nazi Adolf Hitler

Joseph Goebbels, penyandang gelar Ph.D dari Universitas Heidelberg ini, dikenal sebagai seorang ahli propaganda, disegani oleh para ilmuwan, bahkan hingga sekarang. Ini karena ia dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Teknik jitu hasil kepiawaiannya diberi nama “Argumentum ad nauseam” (argumen yang berulang-ulang sampai mual/muak), yaitu kekeliruan logika bahwa sesuatu menjadi benar jika diulang sesering mungkin, atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).

“Jika Anda berbohong cukup besar dan terus mengulanginya, orang-orang pada akhirnya akan mempercayainya”, demikian dahulu Goebbels, – pria kelahiran, Rheydt, Mönchengladbach, Nordrhein-Westfalen, Jerman, – mengatakan.

Prinsip dari teknik propaganda Goebbels itu adalah menyebarluaskan berita bohong melalui berbagai media dan sarana informasi sebanyak mungkin dan sesering mungkin, sehingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Ini memang sederhana, namun cukup mematikan.

Walaupun awalnya, suami Magda Ritschel ini, sempat sukses dengan berbagai strategi dan trik propagandanya, namun kuasa Tuhan Yang Maha Esa tidak mampu diimbangi oleh kekuatan propaganda Goebbels dan angkatan perang Nazi Jerman.

Goebbels dan tokoh idolanya sekaligus tuan besarnya yang ditaati penuh setia sampai mati, Adolf Hitler, pun kebagian pembalasan Tuhan terhadap orang-orang yang ucapannya tak sesuai dengan perbuatannya, seiring kegagalan Adolf Hitler dan kekalahan telak pasukan Nazi di Perang Dunia II, nasib Goebbels pun berakhir tragis dengan mengakhiri hidup keenam anaknya dengan pil sianida, serta menembak istrinya sebelum menembak dirinya sendiri.

Karena sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff: 2-3)

Selain peringatan dan larangan terhadap propaganda yang dikemas dengan kebohongan, Rasulullah Muhammad SAW juga memberi peringatan terhadap orang-orang yang suka membanggakan dirinya sendiri (ujub), dalam sabdanya yang berbunyi:

“Tiga perkara yang membinasakan: rasa pelit yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujubnya seseorang terhadap dirinya sendiri” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath)

The last but not least, masih terkait hal ujub, perlu disimak sebuah bunyi kutipan berupa perkataan hikmah tentang orang-orang yang membanggakan diri dengan berlebihan, dari seorang ulama dalam bidang hadits.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Berbangga diri, sampai-sampai dikhayalkan, “bahwa engkau lebih baik dari pada saudaramu”. “Padahal bisa jadi engkau tidak mampu mengamalkan sebuah amalan yang mana dia mampu melakukannya. Padahal bisa jadi dia lebih berhati-hati dari perkara-perkara haram dibandingkan engkau, dan dia lebih suci amalannya dibandingkan engkau.” (Hilyatu al-Auliya’ juz 6, 391).

Antara jargon-jargon politik dan goodwill/komitmen para bacakada jelang Pilkada Serentak 2024, semoga semuanya dijauhkan dari prinsip dan teknik propaganda Goebbels, rayuan gombal, ingkar janji habis masa Iddah ataupun lips service, agar semoga dapat terwujud daerah-daerah yang baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur, terhindar dari murka Tuhan. Aamiin.(Penulis:Husnul Amri Harahap/Editor:Royziki F.Sinaga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *