MIRIS PERHATIAN PEMERINTAH TERHADAP KALDERA TOBA RENDAH, HINGGA DIHADIAHI UNESCO “YELLOW CARD”

Suaramedannews.com, Medan – Proses panjang Kaldera Toba akhirnya terdaftar dalam UNESCO Global Geoparks pada medio 2020. Namun dari Tiga tahun berselang, gelar itu terancam ditarik. Alasannya karena minim aksi. Akhirnya UNESCO memberi yellow card kepada pemerintah Indonesia dan memberi dua tahun untuk berbenah.

Perlu kita ketahui Kaldera Toba adalah kompleks geologi yang menyuguhkan panorama danau vulkanik terluas di muka bumi, Danau Toba. Lokasinya berada di Sumatera Utara. Sejak 2021, ia ditetapkan sebagai satu di antara lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Super Prioritas.

Namun akibat minimnya aksi terhadap Geopark Nasional Kaldera Toba, Indonesia diganjar oleh UNESCO, Yellow Card. Ini merupakan bukti ‘Beyond’ atau perhatian pemerintah terhadap Kaldera Toba sangatlah rendah.

Demikian dikemukakan praktisi lingkungan hidup yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Hayati Indonesia, Marwan Ashari Harahap kepada wartawan di Medan. Selasa,(03/10/2023).

“Pemerintah kita, baik Pusat maupun Daerah, tidak banyak berbuat apa-apa terhadap aksi-aksi pengelolaan kawasan Kaldera Toba, sehingga Indonesia mendapat kartu kuning dari UNESCO, padahal sebelumnya sudah mendapatkan status sebagai ‘UNESCO Global Geoparks (UGGP)’ pada tahun 2020 lalu”, ujarnya.

“Semestinya Pemerintah punya ‘Beyond’ atau perhatian yang kuat terhadap Kaldera Toba, dengan melakukan aksi-aksi nyata yang terencana, terpadu serta terukur, terhadap Kaldera Toba. Tidak cukup hanya melakukan sosialisasi, tapi harus disertai dengan aksi nyata dalam penyelamatan maupun pembenahan kawasan Kaldera Toba”, ungkapnya.

Marwan Ashari Harahap yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Tabagsel, lebih lanjut menjelaskan, pihak UNESCO selama ini, melihat dan menunggu aksi nyata dari Pemerintah Indonesia, namun sudah berjalan 3 tahun, ternyata tidak bisa berbuat banyak untuk mengurai kasus-kasus pencemaran di Kawasan Danau Toba, Sehingga akhirnya statusnya sebagai ‘UNESCO Global Geoparks’ terancam dicabut.

“Kaldera Toba adalah kompleks geologi yang menyuguhkan panorama danau vulkanik terluas di dunia, seharusnya menjadi prioritas pemerintah Indonesia untuk membenahinya apalagi sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Super Prioritas, tapi tidak disertai dengan aksi dan implementasi program, niscaya tidak akan tercapai”, bebernya.

Menurut Marwan, aksi nyata yang mesti diterapkan Pemerintah adalah memulihkan kawasan Danau Toba dari semua bentuk dan tindakan pencemaran. Baik pencemaran yang berasal dari domestik, industri maupun yang bersumber dari usaha Keramba Jaring Apung (KJA), maupun usaha peternakan yang membuang limbahnya ke kawasan Danau Toba.

Selain itu, tokoh yang dikenal sebagai aktivis lingkungan ini, menegaskan, harus ada implementasi penegakan hukum yang tegas terhadap oknum pelaku pencemaran dan perusakan Kawasan Kaldera Toba.

“Peraturan harus ditegakkan, tidak ada aturan yang tegak tanpa penindakan, ini akan membuat efek jera bagi para pelaku. Coba perhatikan selama ini tidak ada seorangpun yang betul-betul ditindak terhadap pelaku pencemaran atau pelaku yang melanggar peraturan, ini merupakan bukti masih lemahnya penegakan hukum”, tukasnya.

“Baik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah harus mengkaji ulang lebih jauh dan mempertimbangkan terhadap keberadaan keramba jaring apung (KJA), supaya menyetop pemberian ijinnya. Dalam artian, Kawasan Danau Toba jika ingin tetap mendapatkan status sebagai ‘Global Geoparks’ supaya menghentikan semua KJA yang ada”, pungkas Marwan.

Hal senada juga di sampaikan Darmawan Saputra, A.Md., Aktivis dan Pemerhati Pariwisata Berbasis Lingkungan Hidup mengatakan pemerintah terlalu fokus menarik minat wisatawan dan pembangunan infrastruktur dan kurang melibatkan peran masyarakat atau pun tenaga yang ahli di bidangnya.

“Saat ini fokus pemerintah masih sebatas menarik minat wisatawan dan pembangunan infrastruktur. Sedikit sekali dalam membuat kebijakan ataupun kegiatan melibatkan peran serta masyarakat atau tenaga ahli di bidangnya sehingga insfrastruktur yang terbangun kurang terjaga atau bahkan rusak setelahnya”jelas Darmawan.Selasa,(03/10/2023).

“Karena keberadaannya mungkin tidak begitu dibutuhkan masyarakat sekitar atau masyarakat sekitar yang tidak merasa memilikinya”cetusnya

Menurut Darmawan Saputra, A.Md yang juga Pimpinan Organisasi Pegiat Ekowisata ‘SOHIB NATURE’ menyayangkan program yang di buat kurang memperhatikan sisi lingkungan dan juga budaya serta kearifan lokal sering terabaikan.

“Kemudian Geopark bukan sebatas keindahan dan pariwisata, namun dari sisi lingkungan dan juga budaya serta kearifan lokal sering terabaikan” bebernya

Lanjut, Darmawan sangat menyayangkan banyak area hutan di sekitar Danau Toba yang menjadi HPL atau HPT sehingga mengganggu habitat satwa di hutan tersebut.

“Masih banyak area kawasan hutan di sekitar danau Toba yang menjadi kawasan HPL atau HPT sehingga mengganggu habitat satwa disekitarnya, berbanding terbalik dengan minimnya penelitian dan anggaran untuk memperkaya pengetahuan di bidang biodiversity serta pemanfaatannya”terangnya

Darmawan juga meminta kepada pemerintah UNESCO agar bisa melibatkan Mahasiswa yang ada di sekitaran daerah Toba yang memiliki kemampuan dibidangnya, agar bisa menjalankan program dari UNESCO Global Geoparks dengan optimal.

“Padahal banyak jumlah mahasiswa yang sangat berkompeten yang juga berasal dari daerah sekitar Toba. Jika mereka dibiayai dan difasilitasi dari berbagai sektor mungkin akan lebih dapat berperan memberikan kontribusi yang lebih optimal” harap Darmawan yang juga mantan Ketua Umum Korps Mahasiswa Pencinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup Universitas Sumatera Utara (KOMPAS USU) 2012 – 2013.

Perlu diketahui juga Hasil penelitian membuktikan bahwa predikat UNESCO Global Geopark ampuh untuk memikat lebih banyak pengunjung. Efektivitasnya sudah teruji di Jepang, Korea Selatan dan Vietnam.

Keberhasilan mereka dirangkum Yu Jin Lee dalam studi berjudul Economic Impact of UNESCO Global Geoparks on Local Communities: Comparative Analysis of Three UNESCO Global Geoparks in Asia (2020).

Predikat UNESCO Global Geoparks yang dikantongi Itoigawa di Jepang mampu menggandakan jumlah pengunjung museum dan mengakselerasi perekonomian masyarakat. Geosite mereka diperkirakan menyetor JPY418 juta ke pendapatan negara pada 2019 lalu.

Begitu pula di Pulau Jeju, Korea Selatan. Pengakuan UNESCO membantu negara menciptakan 286.000 lapangan kerja pada 2018. Jumlah wisatawan yang berkunjung konsisten meningkat, yakni dari 13,6 juta orang pada 2015 menjadi 15,2 juta orang pada 2019.

Sedangkan penetapan Dataran Tinggi Karst Dong Van sebagai geosite dunia berkontribusi USD56,5 juta bagi pendapatan provinsi di Vietnam pada 2019. Penetapan UNESCO Global Geopark berperan meningkatkan infrastruktur dan menyediakan lowongan kerja.

Menurut penelitian L. H. Deng berjudul Geotourism and geoparks for sustainable rural development and poverty alleviation: Huanggang Dabieshan UNESCO Global Geopark, China (2021), UNESCO Global Geopark juga terbukti mampu mengentaskan kemiskinan di Tiongkok.

Manfaat dari konsep geopark terhadap sisi perekonomian disinggung dalam penelitian Neda Torabi Farsani yang berjudul Geotourism and Geoparksa as Novel Strategies for Socio-Economic Development in Rural Areas (2011).

Selain mengembangkan geowisata, pendirian geopark dapat menciptakan lapangan kerja dan kegiatan ekonomi baru serta sumber pendapatan tambahan, terutama di kawasan pedesaan.

Hal ini mendorong produksi produk kerajinan lokal. Banyaknya keuntungan yang ditawarkan untuk sektor perekonomian membuat negara berbondong-bondong mendaftarkan kekayaan alam mereka ke UNESCO. Saat ini, terdapat 195 situs geopark yang sudah diakui dunia. Sebanyak 10 di antaranya ada di Indonesia.

Potensi Wisata & Investasi Kaldera Toba Kaldera Toba adalah kawasan yang dihuni sekitar 260 ribu penduduk dari tujuh kabupaten di Sumatera Utara. Yakni Samosir, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Simalungun, Dairi dan Karo.

Di sini, terdapat 16 geosite. Mereka dikelola oleh suatu badan otorita. Sebelum diakui dunia dan masih berstatus geopark nasional, Kaldera Toba sudah berkontribusi untuk masyarakat namun walau belum menyeluruh.

Itu terbukti dari hasil penelitian Geiz Charita Sinaga berjudul Kontribusi Kawasan Geopark Kaldera Toba Sebagai Destinasi Wisata Unggulan Nasional Bagi Masyarakat Kota Balige (2017).

Upaya pemerintah pusat mengembangkan pariwisata Kaldera Toba turut mengerek geliat perekonomian lokal, mulai dari segmen mikro hingga menengah. Seperti usaha souvenir, tour guide, restoran dan hotel. Ujungnya, pendapatan asli di beberapa daerah seputran Geopark Kaldera Toba meningkat.

Semenjak berstatus global geoparks sekaligus destinasi pariwisata super prioritas, triliunan rupiah sudah digelontorkan demi membangun Danau Toba. Pada 2020 saja, pemerintah mengalokasikan anggaran infrastruktur lebih Rp2,4 triliun, dua kali lipat dari dana 2019.

Menurut Melani Dwi Astuti dalam penelitian Pengaruh Perkembangan Infrastruktur Terhadap Arus Wisatawan Menuju Objek Wisata di Kawasan Kaldera Toba (2022), pembangunan sarana dan prasarana berpengaruh terhadap peningkatan arus wisatawan ke kawasan Kaldera Toba.

Dalam hal ini, infrastruktur yang telah di bangun antara lain jalan tol, terminal, dermaga dan bandar udara. Kaldera Toba juga menjadi ladang investasi unggulan.

Di sini, pemerintah menawarkan proyek pembangunan resort dengan nilai mencapai USD1,75 miliar atau setara Rp26 triliun (kurs Rp14.800 per USD) dengan masa konsesi 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi hingga 15 tahun.

Kaldera Toba Resort atau Toba Caldera Resort menyediakan lahan seluas 386,72 hektare. Lokasi berada di Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba.

Ada bermacam proyek yang ditawarkan. Mulai dari pembangunan taman, MICE, area komersil hingga fasilitas umum. Melalui siaran resminya, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) melaporkan jumlah total wisatawan yang berkunjung ke Toba Caldera Resort sudah mencapai 250 ribu orang.

Ia diproyeksikan menarik 22 ribu pelancong per hari pada 30 tahun mendatang. Sejak menjadi Badan Layanan Umum pada 2021, BPODT telah menyetor senilai Rp5,6 miliar. Pendapatan ini diperoleh dari sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak seperti parkir, beltent dan wahana permainan.

Tak sekadar pembangunan resort, BPODT juga menyodorkan peluang investasi berupa wahana cable car. Saat ini, mereka telah bekerja sama dengan PT Industri Kereta Api untuk menyusun Pra Feasibility Study.

Dalam rangka menarik perhatian dunia, Danau Toba menyuguhkan ajang-ajang bertaraf internasional. Misalnya F1 Powerboat. Danau ini menjadi tuan rumah pertama di Indonesia. Ia diproyeksikan menjadi agenda tahunan di Danau Toba hingga 2027 mendatang.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat ada setengah juta wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung ke Danau Toba pada 2022. Ke depan, seiring dengan pengembangan Kaldera Toba, jumlah pergerakan wisnus ditargetkan mencapai 1,2-1,4 miliar. Selain itu juga diharapkan mampu membuka 4,4 juta lapangan kerja baru pada 2024.

Tantangan Pengelola Diraihnya status UNESCO Global Geopark berarti Kaldera Toba tidak hanya menarik secara fisik dan budaya, tetapi juga menjadi bagian penting secara geologis bagi dunia, asal dikelolah dengan baik dan menempatkan orang yang sesuai bidangnya.

Menyandang status tersebut membawa sejuta manfaat, tidak hanya bagi ekonomi lokal tapi Indonesia. Alhasil, wajar saja jika terdapat banyak kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengelola.

Situs yang masuk daftar UNESCO ini harus memenuhi standar peningkatan layanan wisata, keselamatan dan keamanan, serta pemeliharaan infrastruktur. Tidak mudah memenuhi semua tuntutan tersebut, terlebih lagi bagi BPODT yang notabenenya “masih baru.” Bahkan kawasan Batur Geopark yang sudah menyandang status sejak 2012 masih menghadapi banyak tantangan dan belum mampu memaksimalkan potensi yang ada.

Jadi sepertinya wajar saja jika akhirnya “yellow card” melandai ke pengelola Danau Toba, yakni BPODT. Sebuah studi yang menganalisa manfaat dan kendala penglolaan area Batur Geopark di Bali menyerukan bahwa pengelolaan dan penerapan kebijakan untuk pengembangan kawasan umumnya terhambat karena banyaknya stakeholders yang terlibat dalam area geopark dan kalau bisa dikurangi agar bisa berjalan dengan baik.

Kehadiran beberapa lembaga atau institusi, selain pengelola utama, yang juga memiliki ranah tugas dalam kawasan tersebut, menyebabkan adanya pedoman dan kebijakan yang saling tumpang tindih. Oleh karena itu penting untuk menetapkan peraturan yang fokus pada perbaikan koordinasi antara pengelola lokal, kabupaten, provinsi, hingga pusat.

Tidak hanya itu pengelola Batur Geopark juga kesulitan untuk mengatur pertumbuhan pedagang dan akomodasi ilegal di area-area yang rentan merusak ekosistem kawasan.

Hal yang sama terjadi di kawasan Kaldera Toba Jadi penulis menyarankan, untuk memberdayakan Tokoh Adat, masyarakat, Mahasiswa dan pelaku bisnis lokal melalui seminar, pelatihan, dan partisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan.

Dilansir dari situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada tahun 2022 terdapat 1.414 objek Indikasi Pelanggaran Pemanfaatan Ruang di Sekitar Kawasan DAS Asahan Toba, serta 19 dugaan kasus pelanggaran pemanfaatan ruang setelah penetapan Perda RTRW.

Mempertimbangkan penjabaran di atas terlihat bahwa pengelolaan geopark membutuhkan upaya dan koordinasi yang kuat dari pemerintah kabupaten hingga pusat, serta didukung partisipasi aktif Tokoh Adat, masyarakat dan Mahasiswa.

BPODT dapat bercermin dari manajemen pengelolaan geopark lainnya di Indonesia dan segera mengambil aksi, agar hadiah “yellow card” dari UNESCO bisa berubah menjadi “green card” di tahun 2025.

(Reporter:Indra Matondang/Editor:Fery Sinaga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *