Suaramedannews.com, Jakarta – Menelaah masukan dari kalangan masyarakat sipil mengenai rencana revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, dimana terdapat pasal yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, Negara hukum dan pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Pdt.Penrad Siagian menegaskan agar kiranya hal ini menjadi perhatian DPR-RI.
Menurut Senator terpilih asal Sumatera Utara tersebut, substansi perubahan usulah pemerintah tidak memperkuat agenda reformasi TNI untuk semakin profesional, malah sebaliknya sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.
Senator yang juga merupakan aktivis 98 tersebut mengemukakan beberapa alasan pentingnya evaluasi terhadap rencana revisi UU TNI.
Pertama tidaklah tepat revisi UU TNI yang memperluas fungsi TNI mencakup keamanan Negara. Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan Negara sama saja memberikan keleluasaan kepada militer masuk dalam urusan keamanan dalam Negeri.
Hal ini berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan militer seperti di masa rezim Orde Baru.
Kedua pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tidak boleh dicabut. Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI. Menghapus kewenangan Presiden berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan.
Hal ini melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yg demokratis.
Ketiga perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih Operasi Militer Selain Perang (OMSP) juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR. Jika usulan perubahan ini disetujui, hal ini berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR-RI.
Keempat, perluasan usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI. Upaya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif dalam draft revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara. Penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara hanya akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri.
Kelima usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998. Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Pelaksanaan agenda tersebut penting, tidak hanya sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.
Keenam, usulan revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas pada anggaran pertahanan. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU TNI dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari “anggaran pertahanan negara” yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi “TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Perubahan ini menunjukan akan ada pos anggaran baru bagi TNI di luar anggaran pertahanan dan juga dilangkahinya kewenangan Kementerian Pertahanan (Menhan). Hal ini membuka ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah ada dan dihapuskan karena rawan penyimpangan.
“Pengalaman traumatik di era rezim otoriter Orde Baru memberi kita pelajaran penting untuk menjaga supremasi sipil di era demokrasi agar negara tidak jatuh kembali kedalam pengalaman pahit,”Tegas Senator Penrad. Selasa,(16/07/2024).
Ditambahkannya Senator, Ia meminta pemerintah dan DPR RI untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, dan jangan mengkhianati Reformasi, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.
“Lebih baik pemerintah fokus pada urusan penuntasan reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI”tutupnya
(Reporter:Fery Sinaga/red)