Kinerja Manajer Perencanaan dan Litbang Pasca Green Card CHLI — Profesionalisme Diuji, Nepotisme Harus Dihentikan

Suaramedannews.com, Samosir – Keberhasilan Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TC UGGp) meraih kembali Green Card dari Dewan UNESCO Global Geoparks di Chile pada 6 September 2025 seharusnya menjadi momentum kebangkitan tata kelola dan pengembangan riset geopark di kawasan Danau Toba.

Pencapaian ini bukan sekadar prestasi simbolis, melainkan hasil kerja panjang berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, hingga kalangan akademisi.

Namun, di balik euforia penghargaan internasional, muncul pertanyaan mendasar: apakah bidang BP TC UGGp yang menjadi motor riset dan perencanaan, khususnya di tingkat manajerial, benar-benar mampu menjalankan amanat besar ini?

Pasca Green Card CHLI, sorotan publik tertuju pada pentingnya penyusunan Rencana Induk, Rencana Empat Tahunan 2025–2029, dan Rencana Tahunan 2026. Menyiapkan ketiga dokumen ini merupakan tanggung jawab utama Manajer Perencanaan dan Litbang.

Hingga tulisan ini diturunkan, kinerja di bidang ini dinilai belum menunjukkan terobosan signifikan sebagaimana diamanatkan Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2024.

Regulasi ini jelas menggariskan arah reformasi birokrasi menuju tata kelola yang profesional, transparan, dan berbasis kompetensi, khususnya dalam perencanaan, penelitian, dan pengembangan TC UGGp.

Di lapangan, semangat tersebut tampak mulai luntur, terutama di tapak 16 geosite, yang masih menerapkan pola lama yang justru melemahkan integritas lembaga yang menyandang label UNESCO.

Sebagai ujung tombak inovasi dan pengembangan kebijakan, manajer perencanaan dan litbang semestinya tampil sebagai penggerak perubahan.

Namun, indikasi lemahnya kinerja—mulai dari belum tersusunnya dokumen perencanaan berbasis data riset hingga rendahnya sinergi antarbidang dan lembaga, dari pusat hingga tapak di pedesaan—menunjukkan jabatan strategis ini belum dijalankan dengan profesionalisme yang diharapkan.

Lebih ironis, muncul kabar praktik pengangkatan staf pelaksana di bawah manajer yang diduga didasarkan pada kedekatan personal atau keluarga, bukan merit.

Jika benar, hal ini bukan hanya pelanggaran etika birokrasi, tetapi juga bertentangan dengan Pergub No. 5 Tahun 2024 yang menekankan bahwa penempatan jabatan atau staf pendukung manajemen harus mempertimbangkan kompetensi, kinerja, dan integritas moral, bukan koneksi pribadi.

UNESCO secara resmi menekankan pentingnya perencanaan berbasis penelitian akurat.

Rekomendasi mereka mencakup enam bidang utama:

1. Warisan Geologi dan Interpretasi: Diversifikasi narasi geologi dan survei mendalam diperlukan untuk memperluas pemahaman dan memperkuat interpretasi warisan bumi kawasan Toba.

2. Warisan Budaya, Alam, dan Takbenda: Pengelolaan geopark harus mengaitkan warisan geologi dengan budaya, spiritualitas, dan kehidupan masyarakat lokal.

3. Visibilitas dan Kemitraan: Peningkatan visibilitas melalui signage, informasi publik, serta kemitraan jelas antara pengelola, pelaku wisata, dan masyarakat.

4. Jejaring dan Pelatihan: Partisipasi aktif dalam pelatihan geopark nasional dan global untuk memperkuat kapasitas pengelola.

5. Tata Kelola dan Keterlibatan Stakeholder: Koordinasi antar-kabupaten dan pemahaman kriteria UNESCO menjadi kunci keberlanjutan.

6. Infrastruktur dan Pengalaman Pengunjung: Fasilitas wisata yang memadai dan kebersihan geosite sebagai indikator profesionalitas pengelolaan.

Selain itu, UNESCO menambahkan rekomendasi baru: pemantauan kualitas air Danau Toba, integrasi edukasi geopark dalam kurikulum sekolah, pengembangan produk wisata geoheritage, mitigasi bencana alam dan ancaman manusia, serta sistem monitoring transparan yang melibatkan publik dan akademisi.

Semua rekomendasi ini membutuhkan perencanaan berbasis riset yang kuat dan kepemimpinan manajerial profesional.

Sayangnya, kinerja manajerial pasca-Green Card masih menunjukkan kelemahan: ketidakmampuan membaca dan menyiapkan data perencanaan, minimnya koordinasi lintas sektor, serta praktik rekrutmen staf yang terindikasi nepotistik menjadi bentuk nyata kemunduran profesionalisme birokrasi. Nepotisme, sekecil apa pun, menciderai integritas lembaga BP TC UGGp. Kurangnya objektivitas dapat mematikan inovasi dan menjauhkan lembaga dari esensi reformasi birokrasi.

Di konteks geopark dunia, praktik semacam ini bahkan berpotensi mencoreng reputasi internasional Toba Caldera UNESCO Global Geopark.

Kini, tanggung jawab penuh berada di tangan General Manager (GM). Ia harus berani menegakkan sistem berbasis kompetensi, memperkuat integrasi data riset dalam perencanaan, serta melibatkan masyarakat, LSM, stakeholder, dan akademisi dalam proses kebijakan.

Hanya dengan langkah-langkah itu, Green Card CHLI 2025 akan menjadi lebih dari simbol administratif—melainkan bukti bahwa reformasi birokrasi dan profesionalisme benar-benar hidup di jantung perencanaan dan litbang BP TC UGGp.

Proses ini harus dilakukan segera, mendesak, dan terukur, dengan kegiatan yang jelas di masing-masing instansi terkait, dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, hingga tapak di pedesaan, berdasarkan perencanaan matang dari 16 geosite, termasuk kategori unggulan, prioritas, dan rintisan.

Penulis : Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl. Ec., M.Si Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)/Penggiat Lingkungan

Minggu (02/11/2025)

Editor: Royziki F.Sinaga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *