suaramedannews.com,MEDAN- Komisi Siyasah Syar’iah dan Kerjasama Antar Lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan gelar seminar peran politik umat Islam dalam Pemilu 2024, Rabu (27/12/2023) di aula kantor MUI Kota Medan.
Hadir sebagai narasumber Ketua Umum MUI Kota Medan, Dr Hasan Matsum, M.Ag, Anggota DPR RI dari PKS, Hidayatullah, SE danl Dosen Komunikasi Politik UINSU, Dr Anang Anas Azhar, MA Moderator , Pamonoran Siregar, dengan peserta dari berbagai ormas Islam, MD KAHMI, BKPRMI, JPRMI, IKADI, IMAM, pengurus MUI Kota Medan dan DP MUI Kecamatan se Kota Medan.
Dalam paparannya, Hasan Matsum mengatakan, gejolak perpolitikan Indonesia menjelang pemilu 2024 mengharuskan umat Islam mempersiapkan diri dalam menghadapi
tantangan politik dalam konteks politik perebutan kekuasaan. Dimana umat Islam harus mempunyai peran dalam berbagai aspek, terutama pada aspek politik.
“Umat Islam jangan menganggap bahwa politik itu tidak penting. Anggapan tersebut merupakan hal yang keliru, politik adalah sesuatu yang harus dilakukan agar pemain politik di negeri ini berisi orang-orang baik,” ucapnya.
Dijelaskan Hasan Matsum, berdasarkan fatwa MUI dalam keputusan ijtima’ Komisi Fatwa tahun 2009 tentang politik kebangsaan dinyatakan pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Kemudian memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Dalam memilih pemimpin harus yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpecaya (amanah), tabliq, dan fathanah. “Dinyatakan juga memilih pemimpin tidak memenuhi syarat-syarat itu, maka hukumnya haram,” kata Hasan.
Sementara Hidayatullah menyatakan, partisipasi umat Islam dalam Pemilu 2024 ini sangat penting, minimal dapat hadir memberi pilihan suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS), tanpa harus berbuat money politic dan perilaku kecurangan.
“Selain money politic saat ini terjadi kecurangan yakni dengan ajaran baru ambil uangnya jangan coblos orangnya. Sudah seharusnya umat Islam itu aktif dalam berpolitik, minimal memberi pilihannya pada calon wakil nya di parlemen yang beragama Islam,” ucapnya.
Diungkapkan Hidayatullah, saat ini seorang calon legislatif (caleg) diharuskan mempunyai uang yang banyak untuk mendapatkan suara rakyat, yakni per TPS minimal Caleg membayar Rp 3,5 juta per TPS dengan ideal 50-60 mendapatkan suara. “Untuk saksi Rp 500 ribu dan Rp 3 juta untuk beli suara atau minimal Rp 50 ribu perorang per TPS. Bahkan sekarang untuk pencalonan DPR RI itu amannya diatas Rp 100 ribu suara dengan mainnya di 2 ribu TPS atau mencapai Rp 3 miliar jika dikalikan Rp 3,5 juta per TPS,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Hidayatullah dari hasil survei sekitar 66 persen pemilih itu money politic. Hal ini menunjukkan politik sudah dominan kejahatan daripada kebaikan sehingga hasilnya nanti untuk rakyat adalah kejahatan.
“Ditahun 2024 ini lah kita harap umat Islam sudah merubah polanya dalam berpolitik yakni politik baik agar berbalas pula dengan kebaikan,” ucapnya.
Anang Anas Azhar mengatakan, jumlah partai politik (Parpol) berbasis
massa Islam terus tumbuh dan berkembang, namun belum mampu
menjadi “imam” dan hingga saat ini masih menjadi “makmum”. Fakta ini dilihat dalam menentukan capres/cawapres di Pemilu 2024. Hal ini karena Parpol berbasis massa Islam, belum memiliki figur populer.
“Tantangan Parpol berbasis Islam itu yakni sulit mengubah ideologinya menjadi platform politik. Parpol berbasis Islam,
menjadikan agama sebagai ideologi partai politik berarti harus memanfaatkan nilai-nilai fundamental agama untuk
mendapatkan popularitas dan dukungan politik dari pemilih. Kemudian masih ada faksionalisme Konflik internal dan krisis
kepemimpinan di Parpol berbasis Islam,” katanya.
Untuk itu, lanjut Anang, peran umat Islam sangat dibutuhkan yaitu mendeklarasikan Parpol berbasis Islam, sebagai parpol inklusif (terbuka) kepada berbagai
elemen masyarakat. Serta mengedepankan konsep catch-all party, guna meraup dukungan pemilih dari berbagai latar belakang dan orientasi politik. Parpol seperti ini memang
berupaya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan cara ini, Parpol cenderung lebih inklusif, terbuka, dan mudah beradaptasi dengan situasi dan perubahan yang terjadi.
“Parpol Islam juga harus dapat menghilangkan sikap egois, bahwa parpol-nya lebih hebat dari parpol Islam lainnya. Selain itu harus dapat menekankan kepentingan umat, bukan kelompok atau kader Parpol Islam semata. Orientasi politik dari Parpol Islam harus diletakkan
pada upaya menekankan kehadiran parpol Islam harus menjadi solusi bagi penyelesaian persoalan
kebangsaan dan keummatan,” tuturnya.
(Reporter:Anto/Editor:Supriadi)